Sudah Bosan dengan penyakit anda
yang tak kunjung sembuh? padahal sudah bermacam macam obat Dokter atau Ramuan
Herbal yang sudah masuk bersarang dalam tubuh kita. Tidak ada salahnya kita
coba pada pengobatan
alternatif, merupakan metode pengobatan yang menggunakan pendekatan diluar
medis. Dalam pengobatan alternatif, segala metode dimungkinkan, dari pengobatan
yang di masukkan ke dalam tubuh seperti penggunaan obat-obat alami,
jamu-jamuan, rempah, herbal alami hingga pengobatan totok syaraf dan ruqiyah,
serta pengobatan dari luar tubuh seperti menggunakan kalung biofir, air
biomegic, dll. Telah hadir ditengah-tengah anda pengobatan anternatif serba bisa
fa insyallah, atas ijin Allah. Yaitu pengobatan Nurussyifa. Mengobati berbagai
penyakit medis dan non medis. Hubungi Ki Subur R.
Alamat:
Jl.
Alam Segar Rt 01/08 Pamulang Permai, Pamulang Barat, Pamulang, Tangerang
Selatan Telp 021 9320 1892.
Rukyat hilal untuk awal bulan
qamariyah setiap tahun memicu perdebatan di generasi muslim di sini pada
Ramadhan … Bagaimana sikap kita terhadap pendapat tentang penggunaan hisab
astronomis sebagai ganti rukyat untuk menetapkan awal Ramadhan?
Apakah itu merupakan pendapat yang marjuh (lemah) saja atau malah tertolak
yakni batil? Dengan ungkapan lain apakah ada syubhat dalil ataukah
tidak? Jika merupakan pendapat yang tertolak –seperti yang saya pahami-
apa hukum berpuasa mereka yang mengikuti pendapat ini? Perlu diketahui
ada sejumlah orang di sini, di Australia dan negara-negara barat lain, dan
mereka terus bertambah? Masalah lain, jika menjadi jelas bagi orang yang
berpuasa bahwa dia menyalahi rukyat, lalu apa yang harus ia lakukan?
Bukankah dalam hal itu ada suatu kesusahan? Seperti halnya bahwa sebagian
dari orang yang berdiskusi dengan kami mengatakan bahwa puasa berdasarkan
rukyat hilal tidak praktis. Kadang mereka keluar untuk merukyat tetapi
mereka tidak bisa melihat, atau mereka berbeda-beda dalam melihatnya dan ini
menyebabkan persoalan! Lalu apa pendapat dalam masalah ini? Kemudian
hisab saat ini telah menetapkan kelahiran hilal dengan sangat teliti, dan
berikutnya membatasi kemungkinan melihatnya sehingga seandainya tidak terlihat,
lalu kenapa kita tidak bersandar kepada hisab sehingga memudahkan masalah
tersebut sebagaimana kita menghitung waktu-waktu shalat?
Jawab:
Rukyat adalah yang dijadikan
sandaran dalam puasa Ramadhan sesuai dengan dalil-dalil yang dinyatakan dalam
hal itu. Diantaranya:
Berpuasalah karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihat hilal, jika kalian tertutup (tidak melihatnya) maka
genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh hari
Adapun yang dijadikan sandaran oleh mereka yang
menggunakan hisab astronomis berupa dalil-dalil yang mereka pandang, maka semua
itu tertolak dan tidak bisa diberlakukan atas masalah tersebut. Dalil
paling masyhur yang mereka sebutkan ada dua:
Kami adalah umat yang ummiyyah, kami
tidak bisa menulis dan menghitung, satu bulan itu begini dan begitu (HR al-Bukhari)
Hadits ini, meski di dalamnya ada washfun
mufhimun (sifat yang bisa memberikan pemahaman) yaitu kata ummiyyah
yang bisa saja membisikkan bahwa itu merupakan ‘illat yang mewajibkan beramal
menurut mafhum, yakni andai bukan ummat yang ummiyyah niscaya kita menggunakan
hisab … hanya saja, ini tidak benar seperti yang sudah diketahui di dalam
ushul. Sebab ini adalah mafhum yang diabaikan. Karena sifat ummiyah
untuk menyatakan kondisi pada galibnya. Orang arab mayoritasnya
ummiy. Ditambah lagi bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan oleh nas
yaitu hadits:
«فإن غُمَّ
عليكم فأكملوا العدّة ثلاثين» (البخاري)
Jika kalian tertutup mendung maka
genapkanlah hitungan tiga puluh (HR
al-Bukhari)
Tidak disebutkan bersamanya batasan. Artinya jika
rukyat hilal tidak mungkin karena tertutup mendung atau hujan yakni suatu sebab
yang menghalangi rukyat, maka hukum syara’ telah ditetapkan dengan menggenapkan
bulan menjadi tiga puluh hari, sehingga meski sekalipun hilal muncul akan
tetapi tertutup mendung. Atas dasar itu maka yang diterapkan adalah
manthuq dan mafhum harus diabaikan.
Ini fakta tentang syarat beramal
dengan mafhum dalam kebanyakan kondisi, mafhum itu diabaikan jika dinyatakan
untuk menyatakan kondisi galibnya; atau jika dibatalkan oleh nas misalnya:
Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. (TQS
al-Isra’ [17]: 31)
Takut kemiskinan (khasyyah imlâq)
merupakan sifat yang memberikan pemahaman (washfun mufhimun) yakni khasyyah
al-faqri -takut kemiskinan-. Demikian juga pernyataan itu menunjukkan
kondisi pada galibnya. Mereka membunuh anak-anak karena takut
miskin. Kemudian bahwa mafhum tersebut telah dibatalkan dengan nas:
Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam(TQS an-Nisa’ [4]: 93)
Oleh karena itu mafhum ini diabaikan. Tidak
dikatakan bahwa yang haram adalah membunuh anak-anak karena takut kemiskinan
dan menjadi halal jika ia membunuhnya karena kaya! Akan tetapi pembunuhan
itu tetap haram dalam dua kondisi itu baik karena kemiskinan atau kaya.
Demikian juga ayat:
]لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً[
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda(TQS Ali Imran [3]: 130)
Kata adh’âfan mudhâ’afatan
(berlipat ganda) merupakan washfun mufhimun (sifat yang memberikan
pemahaman) dan demikian juga menyatakan kondisi pada galibnya. Mereka
mengambil riba berlipat ganda. Kemudian mafhum ini diabaikan dengan nas:
]وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا[
padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba(TQS
al-Baqarah [2]: 275)
Oleh karena itu mafhum ini diabaikan. Tidak bisa
dikatakan yang haram adalah riba yang banyak, sedangkan riba yang sedikit maka
boleh. Akan tetapi, riba berapapun banyaknya adalah haram sebab mafhum (adh’âfan
mudha’afatan) diabaikan seperti yang kami katakan.
Begitulah, mafhum kata (ummiyah)
diabaikan seperti yang kami jelaskan. Yakni bahwa rukyat hilal jika
terhalang karena mendung atau hujan maka wajib menggenapkan hitungan bulan
menjadi tiga puluh, baik kita mengetahui hisab ataupun tidak mengetahui.
Kedua, pendapat mereka jika
waktu-waktu shalat di situ hisab dijadikan sandaran, dan jika demikian maka
waktu puasa di situ hisab juga dijadikan sandaran … jawaban hal itu:
Siapa yang menelaah nas-nas yang
dinyatakan tentang puasa maka ia akan mendapati hal itu berbeda dari nas-nas
yang dinyatakan tentang shalat. Puasa dikaitkan dengan berbuka dan dengan
rukyat:
]مَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (
Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu
(TQS al-Baqarah [2]: 185)
Berpuasalah karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihat hilal
Jadi rukyat adalah (yang dinyatakan
oleh) hukum. Akan tetapi nas-nas tentang shalat telah dikaitkan dengan
terealisasinya waktu:
] أَقِمِ
الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ(
Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir (TQS
al-Isra’ [17]: 78)
«إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ فَصَلَّوْا»
Jika matahari tergelincir maka
shalatlah kalian
Jadi shalat bergantung pada
terealisirnya waktu. Maka dengan wasilah apapun Anda tetapkan waktu maka
Anda harus shalat. Jika Anda melihat matahari untuk melihat waktu
tergelincirnya matahari atau Anda melihat bayangan untuk melihat bayangan
segala sesuatu atau semisalnya seperti yang ada di dalam hadits-hadits tentang
waktu-waktu shalat, jika Anda lakukan hal itu dan Anda tetapkan waktu shalat,
maka shalatnya sah. Jika Anda tidak melakukan hal itu akan tetapi Anda
menghitungnya secara astronomis lalu Anda tahu bahwa waktu tergelincir atau jam
sekian lalu Anda lihat jam tanpa keluar untuk melihat matahari atau bayangan,
maka shalat telah sah. Yakni bahwa Anda tetapkan waktu dengan wasilah apa
saja. Mengapa? Sebab Allah SWT meminta Anda shalat karena masuknya waktu dan
menyerahkan Anda penetapan masuknya waktu tanpa menentukan tatacara penetapan
itu. Sedangkan puasa maka Allah meminta Anda untuk berpuasa dengan rukyat
jadi Allah membatasi sebab untuk Anda bahkan lebih dari itu Allah berfirman
kepada Anda jika rukyat terhalang mendung sehingga Anda tidak bisa melihat, maka
Anda tidak berpuasa hingga meskipun hilal ada di balik mendung dan Anda merasa
yakin adanya hilal menurut hisab astronomis.
Inilah pendapat kami dalam masalah
ini. Hisab astronomis tidak boleh dijadikan sandaran dalam penentuan
puasa dan berbuka Ramadhan, akan tetapi yang harus dijadikan sandaran adalah
rukyat.
-
Adapun bagaimana puasa orang yang menggunakan hisab astronomis, jika mereka
berpuasa pada hari-hari yang dihitung bagian dari Ramadhan sesuai rukyat, maka
itu adalah puasa yang sah. Sebaliknya jika mereka melewatkan satu hari
dari Ramadhan sesuai rukyat maka mereka dimintai pertanggungjawaban atasnya dan
mereka wajib mengqadha’nya.
Ini yang kita yakini, kita jelaskan
kepada masyarakat. Dan kita tidak memiliki kekuasaan memaksa mereka atas
pendapat kita. Melainkan kita jelaskan kepada mereka dengan uslub yang
baik dan hikmah yang baik dan masalah berhenti. Kami tidak menjadikan
masalah tersebut dalam bentuk benturan pendapat, tetapi kami gariskan garis
yang lurus di samping garis yang bengkok. Dan Allah SWT adalah Maha
Memberi Petunjuk kepada jalan yang lurus.
-
Sedangkan pendapat bahwa mengikuti rukyat mempersulit masalah, maka kadang
orang berpuasa pada hari terakhir Ramadhan kemudian dia diberi berita bahwa
hari itu adalah hari Ied … Dan seandainya ia menjadi berbuka pada awal Ramadhan
lalu orang lain datang dan berkata “rukyat hilal telah terlihat jadi hari ini
adalah Ramadhan begitu maka masalah tersebut menjadi sulit…
Jawaban hal itu adalah bahwa masalahnya
lebih mudah dari hal itu. Seorang muslim berpuasa dan berbuka sesuai
pengetahuannya tentang rukyat setelah ia mencarinya, maka jika ia berpuasa atau
berbuka berdasarkan tidak adanya rukyat hilal menurutnya, kemudian datang orang
yang memberitahunya pengetahuan yang sahih tentang rukyat hilal maka ia harus
mengikutinya. Ini ditetapkan dengan hadits Rasulullah saw: diriwayatkan
dari sekelompok orang Anshar:
Hilal syawal tertutup mendung bagi
kami sehingga kami berpuasa, lalu di akhir hari datang pengendara kuda dan
mereka bersaksi di hadapan Nabi saw bahwa mereka melihat hilal kemarin, maka
Rasulullah saw memerintahkan mereka berbuka kemudian mereka keluar untuk
melaksanakan shalat Ied mereka esok harinya (HR Ahmad)
Pada masa dahulu faktanya bahwa
sampainya berita rukyat dari tempat lain tidak mudah, seperti yang terjadi pada
Rasulullah saw. Berita rukyat delegasi yang datang ke Madinah sampai
kepada Rasulullah saw ketika sudah siang dimana Rasul dan kaum muslimin di
Madinah berpuasa sebab mereka tidak melihat hilal. Ketika delegasi itu
memberitahu Rasul saw tentang rukyat hilal, Rasul saw pun memerintahkan kaum
muslimin berbuka. Hari itu adalah hari terakhir Ramadhan. Rasul saw
berpuasa menggenapkan hitungan karena tidak berhasil merukyat (melihat) hilal
di Madinah. Ketika datang berita kepada beliau bahwa hilal terlihat di
tempat lain, beliau memerintahkan berbuka sebab hari itu hari pertama
Syawal. Artinya: hari raya ied, dan bukan penggenapan Ramadhan.
Ini perkara yang mudah. Setiap
daerah mencari berita rukyat. Jika hilal tidak terlihat dan tidak sampai
berita yang sahih bahwa hilal terlihat di tempat lain maka hendaknya berpuasa
atau berbuka. Dan jika sampai berita rukyat hilal maka berita itu harus
dijadikan sandaran sebab hadits tersebut merupakan seruan untuk semua orang “shûmû
li ru`yatihi … -berpuasalah karena melihat hilal …-.
-
Sedangkan ucapan Anda : bahwa mereka mengatakan (tidak praktis), lalu kenapa
tidak praktis? Jika penduduk Australia mencari rukyat hilal Syawal dan
mereka tidak melihatnya, dan tidak sampai berita kepada mereka bahwa hilal
terlihat di tempat lain, maka mereka hendaknya berpuasa. Jika sampai
kepada mereka berita rukyat hilal selama hari itu, maka mereka harus berbuka
sebab hari itu adalah ied seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw …
begitu. Kemudian sungguh sekarang ini berita bisa sampai dengan mudah dan
cepat … Oleh karena itu masalahnya tidak praktis itu tidak ada alasan yang
mendukungnya bagi seorang muslim yang ingin mencari kebenaran dalam ibadahnya.
-
Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan lahirnya hilal maka itu
benar. Adapun bahwa hisab astronomis bisa menentukan kemungkinan
rukyatnya maka itu tidak benar. Sebab para astronom berbeda pendapat
dalam menentukan kadar waktu yang terjadinya kelahiran hilal sehingga terlihat
setelah tenggelam matahari. Meski demikian kita tidak berpuasa dan
berbuka menurut hakikat kelahiran hilal, akan tetapi menurut rukyatnya.
Begitulah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw:
Berpuasalah kalian karena melihat
hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup mendung
maka genapkan hitungan Sya’ban tiga puluh
Kadang kala hilal Ramadhan itu sudah
ada tetapi tertutup mendung sehingga tidak terlihat maka hitungan Sya’ban
digenapkan, sesuai nas hadits. Jadi waktu berpuasa itu ditetapkan dengan
rukyat seperti yang ada di dalam dalil-dalil. Seandainya waktu berpuasa seperti
halnya waktu shalat yakni tidak disyaratkan dengan rukyat niscaya penetapan
waktu menggunakan hisab adalah benar. Akan tetapi, dalil-dalil puasa
datang bersandar pada rukyat, sedangkan dalil-dalil shalat datang dengan
pencapaian waktu tanpa mensyaratkan rukyat: