PANDUAN DASAR CALON JURNALIS/ WARTAWAN
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji dan syukur
ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa atas petunjuk dan hidayah-Nya, sehingga
penulisan makalah ini dapat dikerjakan sesuai dengan rencana.
Isi dalam makalah ini mengenai
terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalistik menginginkan
kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas.
Bahasa yang digunakan harus efektif, artinya harus menyampaikan secara tepat
apa yang dipikirkanya, dan bahasa yang digunakan harus mampu menggerakan
pikiran orang-orang yang membaca/mendengar amanatnya, sehingga tercipta suatu
pengertian yang sama dengan yang dipikirkan jurnalis/wartawan.
Dengan senang hati penuh
keterbukaan, penulis menerima saran, kritik, dan masukan yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
April 2013
PENDAHULUAN
Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea bahasa jurnalistik juga
mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik
lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya. Pemakaian kata-kata yang bernas.
Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang dikuasai
seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup
diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam BI Jurnalistik dihadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata. Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
Dalam penggunaan kata, penulis yang menggunakan ragam BI Jurnalistik dihadapkan pada dua persoalan yaitu ketepatan dan kesesuaian pilihan kata. Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan kata yang dipakai sudah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
Penggunaan kalimat efektif. Kalimat dikatakan efektif bila
mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan itu berlangsung sempurna.
Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan itu tergambar
lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang ditulis. Keefektifan kalimat
ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur atau pola kalimat. Selain
polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai tenaga yang menarik.
Penggunaan alinea/paragraf yang kompak. Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain. Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien.
Penggunaan alinea/paragraf yang kompak. Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas. Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan memisahkan suatu tema dari tema yang lain. Bahasa jurnalistik sewajarnya didasarkan atas kesadaran terbatasnya ruangan dan waktu. Salah satu sifat dasar jurnalisme menghendaki kemampuan komunikasi cepat dalam ruangan serta waktu yang relatif terbatas. Meski pers nasional yang menggunakan bahasa Indonesia sudah cukup lama usianya, sejak sebelum tahun 1928 (tahun Sumpah Pemuda), tapi masih terasa perlu sekarang kita menuju suatu bahasa jurnalistik Indonesia yang lebih efisien.
Dengan efisien dimaksudkan agar
lebih hemat dan lebih jelas. Asas hemat dan jelas ini penting untuk setiap
reporter, dan lebih penting pula untuk setiap editor. Di bawah ini diutarakan
beberapa penjelasan, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan dalam
usaha kita ke arah efisien penulisan.
A. PENGHEMATAN UNSUR KATA.
Penghematan diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini
bisa dilakukan di dua lapisan : yaitu unsur kata, dan unsur kalimat.
Unsur kata :
1. Beberapa kata Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa
mengorbankan tatabahasa dan jelasnya arti. Misalnya:
- agar supaya …………….. agar, supaya
- akan tetapi …………….. tapi
- apabila …………….. bila
- sehingga …………….. hingga
- meskipun …………….. meski
- walaupun …………….. walau
- tidak …………….. tak (kecuali diujung kalimat
atau berdiri sendiri).
- agar supaya …………….. agar, supaya
- akan tetapi …………….. tapi
- apabila …………….. bila
- sehingga …………….. hingga
- meskipun …………….. meski
- walaupun …………….. walau
- tidak …………….. tak (kecuali diujung kalimat
atau berdiri sendiri).
2. Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat
jadi dari. Misalnya: “Keadaan lebih baik dari pada zaman sebelum perang”,
menjadi “Keadaan lebih baik sebelum perang”. Tapi mungkin masih janggal
mengatakan: ”Dari hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang”.
3. Ejaan yang salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan
menghemat huruf. Misalnya:
- sjah ……… sah
- khawatir ……… kuatir
- akhli ……… ahli
- tammat ……… tamat
- progressive ……… progresif
- effektif ……… efektif
- sjah ……… sah
- khawatir ……… kuatir
- akhli ……… ahli
- tammat ……… tamat
- progressive ……… progresif
- effektif ……… efektif
Catatan : Kesulitan pokok kita di waktu yang lalu ialah
belum adanya ejaan standard bahasa Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat,
tentang: roch atau roh? zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan
atau kesusastraan? Tehnik atau teknik? Dirumah atau di rumah? Mudah-mudahan
dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus
bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa
tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa,
misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan
sebagainya.
4. Beberapa kata mempunyai sinonim yang lebih pendek.
Misalnya:
- kemudian = lalu
- makin = kian
- terkejut = kaget
- sangat = amat
- demikian = begitu
- sekarang = kini
- kemudian = lalu
- makin = kian
- terkejut = kaget
- sangat = amat
- demikian = begitu
- sekarang = kini
Catatan : Dua kata yang bersamaan arti belum tentu
bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal perasaan. Dalam soal memilih
sinonim yang telah pendek memang perlu ada kelonggaran, dengan mempertimbangkan
rasa bahasa.
B.
PENGHEMATAN DALAM BAHASA ASING
Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa ini begitu derasnya
arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet
the Press, steam-bath, midnight show, project officer, two China policy,
floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best
photo of the year, reshuffle, approach, single, seeded dan apa lagi.
Kata-kata
itu sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara
diketahui bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa
diperhitungkan sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari
informasi, mengingat timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika
diingat rakyat kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat, ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing
yang relatif mudah diterjemahkan harus segera dimulai. Tapi sementara itu
diakui: perkembangan bahasa tak berdiri sendiri, melainkan ditopang
perkembangan sektor kebudayaan lain.
Maka sulitlah kita mencari terjemahan lunar module
feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical know-how,
backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur, boom, longplay, crash program,
buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak
berasal dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari
salinan Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom dengan “cutbrai”)
tetap perlu.
C.
AKRONIM
Akronim, memang memang mempunyai manfaat untuk: menyingkat
ucapan dan penulisan dengan cara yang mudah diingat. Dalam Bahasa Indonesia,
yang kata-katanya jarang bersuku kata tunggal dan yang rata-rata dituliskan
dengan banyak huruf, kecendrungan memebentuk akronim memang lumrah.
Menghindari sejauh mungkin akronim. Setiap bahasa mempunyai
akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers berbahasa Indonesia
bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai hal-hal yang kurang
perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan penulisan dengan cara
yang mudah diingat.
Dalam bahasa
Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata
dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah.
”Hankam”, ”Bappenas”, ”Daswati”, ”Humas” memang lebih ringkas dari ”Pertahanan
& Keamanan” ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, ”Daerah Swantantra
Tingkat” dan ”Hubungan Masyarakat”.
Tapi kiranya akan teramat membingungkan kalau kita
seenaknya saja membikin akronim sendiri dan terlalu sering. Di samping itu,
perlu diingat : ada yang membuat akronim untuk alasan praktis dalam dinas
(misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada yang membuat akronim untuk
bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di kalangan remaja sehari-hari:
”ortu” untuk ”orangtua”; atau di pojok koran: ”keruk nasi” untuk ”kerukunan
nasional”).
Tapi ada pula yang membuat akronim untuk menciptakan efek
propaganda dalam permusuhan politik (misalnya “Manikebu” untuk “Manifes
Kebudayaan”, “Nekolim” untuk “neo-kolonialisme”. “Cinkom” untuk “Cina Komunis”,
“ASU” untuk “Ali Surachman”). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif,
seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok
sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya “Jagung” untuk “Jaksa
Agung”, “Gepeng” untuk “Gerakan Penghematan”, “sas-sus” untuk “desas-desus”.
Saya tak bermaksud memberikan batas yang tegas akronim mana
saja yang bisa dipakai dalam bahasa pemberitaan atau tulisan dan mana yang
tidak. Saya hanya ingin mengingatkan: akronim akhirnya bisa mengaburkan
pengertian kata-kata yang diakronimkan, hingga baik yang mempergunakan ataupun
yang membaca dan yang mendengarnya bisa terlupa akan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim
“Gepeng” jika terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna “gerakan”
dan “penghematan” yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim
”ASU”.
Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali
makna semula sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita
bisa hilang terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim
sering dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting
dalam bahasa Indonesia. Tapi seperti halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan
juga lebih efektif jika dilakukan dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk
itu ialah “dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak
kalimatnya”; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu
kalimat. Pada dasarnya setiap kalimat yang
amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal yang lebih pokok,
apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan lead (awal) berita
sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari itu, pembaca bisa
kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat terlalu banyak data
yang dijejalkan.
PENGHEMATAN UNSUR KALIMAT
Pada penghematan unsur kalimat, Goenawan mengilustrasikan
penghematan melalui struktur kalimat, yang menghindari pemborosan kata.
Unsur Kalimat
Lebih efektif dari penghematan kata ialah penghematan
melalui struktur kalimat. Banyak contoh pembikinan kalimat dengan pemborosan
kata.
1. Pemakaian kata yang sebenarnya tak perlu, di awal
kalimat:
- “Adalah merupakan kenyataan, bahwa percaturan politik
internasional berubah-ubah setiap zaman”. (Bisa disingkat: ”Merupakan
kenyataan, bahwa …………….”).
- “Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas”. (Bisa disingkat: “Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro………..”).
- “Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro sudah jelas”. (Bisa disingkat: “Yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro………..”).
2.
Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa
ditiadakan:
- “Apakah Indonesia akan terus tergantung pada bantuan luar
negeri”? (Bisa disingkat: ”Akan terus tergantungkah Indonesia…..”).
- Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak”. (Bisa disingkat: ”Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak”).
- Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak”. (Bisa disingkat: ”Baik kita lihat, dia di rumah atau tidak”).
3.
Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang
sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
- “Dalam hal ini pengertian dari Pemerintah diperlukan”.
(Bisa disingkat: ”Dalam hal ini pengertian Pemerintah diperlukan”.
- ”Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa”. (Bisa disingkat: ”Sintaksis adalah bagian Tatabahasa”).
- ”Sintaksis adalah bagian daripada Tatabahasa”. (Bisa disingkat: ”Sintaksis adalah bagian Tatabahasa”).
4.
Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa
ditiadakan:
- “Uni Soviet cenderung untuk mengakui hak-hak India”.
(Bisa disingkat: “Uni Soviet cenderung mengakui…………”).
- “Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami”. (Bisa disingkat: “Pendirian semacam itu mudah dipahami”).
- “GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal”. (Bisa disingkat: “GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi…….”).
- “Pendirian semacam itu mudah untuk dipahami”. (Bisa disingkat: “Pendirian semacam itu mudah dipahami”).
- “GINSI dan Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal”. (Bisa disingkat: “GINSI dan Pemerintah bersetuju memperbaruhi…….”).
Catatan
: Dalam kalimat: ”Mereka setuju untuk tidak setuju”, kata untuk demi kejelasan
dipertahankan.
5.
Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
- ”Kera adalah binatang pemamah biak”. (Bisa disingkat
”Kera binatang pemamah biak”).
Catatan : Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ”Pikir itu pelita hati”. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ”Man is a better driver than woman”, bisa mengacaukan bila disalin: ”Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita”.
Catatan : Dalam struktur kalimat lama, adalah ditiadakan, tapi kata itu ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ”Pikir itu pelita hati”. Kita bisa memakainya, meski lebih baik dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ”Man is a better driver than woman”, bisa mengacaukan bila disalin: ”Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita”.
6.
Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai penunjuk waktu sebenarnya bisa
dihapuskan, kalau ada keterangan waktu :
- “Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good year”.
(Bisa disingkat: ”Presiden besok meninjau pabrik………”).
- “Tadi telah dikatakan ……..” (Bisa disingkat: “Tadi dikatakan.”).
- “Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: “Kini Clay mempersiapkan diri”).
- “Tadi telah dikatakan ……..” (Bisa disingkat: “Tadi dikatakan.”).
- “Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri”. (Bisa disingkat: “Kini Clay mempersiapkan diri”).
7.
Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
- “Pd. Gubernur Ali Sadikin membantah desas-desus yang
mengatakan bahwa ia akan diganti”).
- “Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat”. (Bisa disingkat: “Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat”).
- “Tidak diragukan lagi bahwa ialah orangnya yang tepat”. (Bisa disingkat: “Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat”).
Catatan
: Sebagai ganti bahwa ditaruhkan koma, atau pembuka (:), bila perlu.
8.
Yang, sebagai penghubung kata benda dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa
ditiadakan dalam konteks kalimat tertentu:
- “Indonesia harus menjadi tetangga yang baik dari
Australia”. (Bisa disingkat: ”Indonesia harus menjadi tetangga baik
Australia”).
- “Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia”.
- “Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia”.
9.
Pembentukan kata benda (ke + ….. + an atau pe + …….. + an) yang berasal
dari kata kerja atau kata sifat, kadang, meski tak selamanya, menambah beban
kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
- “Tanggul kali Citanduy kemarin mengalami kebobolan”.
(Bisa dirumuskan: ”Tanggul kali Citanduy kemarin bobol”).
- “PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta”. (Bisa dirumuskan: ”PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
- ”Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya” (Bisa disingkat: ”Ia telah tiga kali menipu saya”).
- Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai”. (Bisa dirumuskan: ”Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai”).
- “PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta”. (Bisa dirumuskan: ”PN Sandang rugi Rp 3 juta”).
- ”Ia telah tiga kali melakukan penipuan terhadap saya” (Bisa disingkat: ”Ia telah tiga kali menipu saya”).
- Ditandaskannya sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh partai”. (Bisa dirumuskan: ”Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah meremajakan tubuh partai”).
10. Penggunaan kata sebagai dalam konteks “dikutip sebagai mengatakan” yang belakangan ini sering
muncul (terjemahan dan pengaruh bahasa jurnalistik Inggris & Amerika),
masih meragukan nilainya buat bahasa jurnalistik Indonesia. Memang, dalam
kalimat yang memakai rangkaian kata-kata itu (bahasa Inggrisnya ”quoted as
saying”) tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat
”Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan……” tak menunjukkan Dirjen
Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter
memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata
sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga
kalimatnya cukup berbunyi: ”Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan………..”.
Bukankah
masih terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula,
seperti sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa
menimbulkan ekses. Contoh: Ali Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun
proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: “Itu akan dilakukan dalam tiga
tahap” Harian Kami, 7 Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai dalam berita itu
samasekali tak tepat, selain boros.
11. Penggunaan dimana,
kalau tak hati-hati, juga bisa tak tepat dan boros. Dimana sebagai kataganti
penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa Indonesia
akibat pengaruh bahasa Barat.
Dr. C. A. Mees, dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff &
Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak
pemakaian pada siapa, dengan siapa, untuk diganti dengan susunan kalimat
Indonesia yang “tidak meniru jalan bahasa Belanda”, dengan mempergunakan kata
tempat, kawan atau teman. Misalnya: “orang tempat dia berutang” (bukan: pada
siapa ia berutang); “orang kawannya berjanji tadi” (bukan: orang dengan siapa
ia berjanji tadi). Bagaimana kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?
Misalnya: ”Rumah dimana saya diam”, yang berasal dari “The house where I live in”, dalam bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: “Rumah yang saya diami”. Misal lain: “Negeri dimana ia dibesarkan”, dalam bahasa Indonesia semula berbunyi: “Negeri tempat ia dibesarkan”.
Dari
kedua misal itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski
begitu tak berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari
pembentukan kalimat bahasa Indonesia.
BEBERAPA CONTOH DALAM KORAN MENGENAI PENGGUNAAN KATA
Dimana Kompas,
4 Desember 1971, halaman I:
“Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam”.
“Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di Vietnam”.
Sinar
Harapan, 24 November 1971, halaman III:
“Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang
menggarap 9 buah perkara tindak pidana korupsi, dimana ke-9 buah perkara tsb.
sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.”
Abadi, 6 Desember 1971, halaman II:
“Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter
dunia dewasa ini masih belum menentu, dimana secara tidak langsung telah dapat
mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga kestabilan, baik untuk
perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor”.
Dalam
ketiga contoh kecerobohan pemakaian dimana itu tampak: kata tersebut tak
menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi sebagai penyambung satu kalimat
dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing bisa dirumuskan dengan lebih
hemat:
“Penyakit itu dianggap berasal (dan disebarkan)
serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di Vietnam”.
“Pihak Kejaksaan Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang
menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi. Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah
dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya) masih dalam pengusutan”.
Perhatikan :
- Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
- “Dewasa ini sedang” cukup jelas dengan “dewasa ini”.
- Kata “9 buah” bisa dihilangkan “buah”-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
“Selanjutnya dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter
dewasa ini masih belum menentu. Hal ini (atau lebih singkat: Ini) secara tidak
langsung telah dapat ………. dst”.
Perhatikan: Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.
Perhatikan: Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.
12. Dalam beberapa kasus, kata
yang berfungsi menyambung satu kalimat
dengan kalimat lain sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua
kalimat itu secara implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas.
Misalnya:
- “Bukan kebetulan jika Gubernur
menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang,
proyek itu bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik”. (Kata sebab
diawal kalimat kedua bisa ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat
secara implisit sudah jelas).
- “Pelatih PSSI Witarsa mengakui
kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga
menguraikan perlunya perbaikan gizi pemain” (Kata kemudian diawal kalimat kedua
bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat secara implisit cukup
jelas).
Tak perlu diuraikan lebih lanjut,
bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata yang berfungsi
menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau
meski yang mengesankan ada yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa
ditiadakan.
BEBERAPA
CONTOH DALAM KORAN MENGENAI KEJELASAN UNSUR KALIMAT
Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1:
”Sehubungan dengan berita ‘Harian
Kami’ tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul: ‘Tanah Kompleks IAIN
Ciputat dijadikan Objek Manipulasi’ (berdasarkan keterangan pers dari Hamdi
Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka pada tanggal 28 November jbl.
di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan antara pihak Staf JPMII
(Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan – Perwakilan Ciputat) dengan
Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan ‘clearing’ terhadap
berita itu.”
Kalimat
itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua kali
membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada pembacaan
pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan saya. Ini
artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Terlebih lagi jika bukan saja
pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat panjang,
tapi juga si penulis sendiri.
Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV:
”Selama tour tersebut sambutan
masyarakat setempat di mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat sambutan
hangat.”
Perhatikan : Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, “yang mendapat sambutan hangat ialah sambutan masyarakat setempat.”
Sinar
Harapan, 22 November 1971, halaman VII:
“Di kampung-kampung kelihatan
lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan sedikit daging semur, opor
ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah yang lain, ketupat-ketupat tersebut
saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula
ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka.”
Perhatikan:
Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis
nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut “orang-orang kampung”.
Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat tersebut saling
mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang
itu bisa berarti aneh dan lucu: “daging semur, opor ayam disantap bersama oleh
ketupat-ketupat.
PENJELASAN
Selain beberapa pedoman
penghematan dalam menulis, beberapa pedoman dasar kejelasan dalam menulis perlu
diperhatikan. Setelah dikemukakan 16 pasal yang
merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di bawah ini pedoman dasar
kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas membutuhkan dua prasyarat:
1. Si penulis harus memahami
betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin
benar akan pengetahuannya sendiri.
2. Si penulis harus punya
kesadaran tentang pembaca.
Memahami betul soal-soal yang mau
ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam suatu sistematik.
Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil pengamatan, wawancara, hasil
bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma mengambang. Ada orang yang
terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi dirinya: menulis terlalu
panjang.
Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan kedua macam
orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus disertai
informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara dan
membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan yang
tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang
pembaca. Sebelum kita menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya
perkiraan) tentang pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya?
Bisakah tulisan saya ini mereka pahami?
Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak
hanya akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh
suatu publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau
majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau
sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis
jurnalistik yang jelas ialah: buatlah tulisan yang tidak membingungkan orang
yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah tahu. Ini bisa
dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan terus-menerus.
Sebuah
tulisan yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
a. tanda baca yang tertib.
b. ejaan yang tidak terlampau
menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
c. pembagian tulisan secara
sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara
mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan
menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut,
kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak
berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.
PENUTUP
Demikianlah proses perkembangan Jurnalisme dalam
mengkosepkan penyajian dan penyampaian pesan dalam ruang kaiatan ruang-waktu
teknologi media. Perkembanagan teknologi menuntut perubahan sususnan pesan yang
diminta masyarakat. Ruang sosial peristiwa- berita berkembang selaras dengan
kebutuhan masyarakat dalam membuat pola interaksi sosialnya melaui media massa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar