Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp. 0813 8468 1151, Mau Pasang Iklan, Hub Biro Iklan, Aulia Advertising, Telp. 0813 8468 1151
DWITAMA SPANDUK ADVERTISING AHLINYA SABLON SPANDUK, UMBUL-UMBUL DAN BENDERA KAIN DAN PRINT, Telp 0813 8468 1151/0859 6661 4393

Dwitama Spanduk Tangsel.

Selasa, 25 Juni 2013

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION) DAN MASA DEPAN DEMOKRASI INDONESIA
Oleh : Hermiwati
A.   Pendahuluan
Dewasa ini “demokrasi” menjadi pembicaraan hangat berbagai lapisan masyarakat mulai dari kalangan kelas bawah sampai kelas elit seperti kalangan elit politik, birokrat pemerintahan, tokoh masyarakat, mahasiswa, dan kaum professional. Wacana demokrasi seringkali dikaitkan dengan berbagai pesoalan, seperti “Islam dan demokrasi”, “Politik dan demokrasi”, “pendidikan dan demokrasi”, dan masih banyak lagi. Pembicaraan mengenai “demokrasi” semakin membuat masyarakat lebih mengenali lebih dalam tentang demokrasi sehingga menimbulkan dorongan agar kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.Bagi Negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi seperti Indonesia, pendidikan kewarga negaran sangat di perlukan guna mendukung dan memperkuat barisan masyarakat sipil yang beradab.
Namun, pelaksanaan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia sempat mengalami kemunduran pada masa Orde Baru, di karenakan rezim penguasa saat itu sangat otoriter. Terbukti banyaknya penyalahgunaan kekuasaan serta meningkatnya korupsi di kalangan elit politik serta pelaku bisnis sejak masa Orde Baru hingga kini bsa menjadi fakta gagalnya pendidikan kewarganegaraan pada masa lalu.
Akibatnya, dalam menjalankan sitem demokrasi Indonesia banyak mengalami parmasalahan. Sehingga patut dipertanyakan cocok kah demokrasi diterapkan di Indonesia. Dan bagaimana perkembangan demokrasi Indonesia masa mendatang setelah kegagalan masa Orde Baru menjalankan system demokrasi. Disamping itu Dewasa ini wacana pendidikan demokrasi melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal banyak diperbincangkan lewat tulisan di media massa maupun forum-forum diskusi dan seminar. Bahkan uji coba pendidikan demokrasi yang dimodifikasi dalam bentuk civic education (pendidikan kewarganegaraan) telah mulai dilakukan di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) dan perguruan tinggi. Sementara pendidikan demokrasi lewat jalur informal sudah banyak diprakarsai oleh organisasi – organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah serta ormas keagamaan sejenis lainnya.
Fenomena ini tidak lepas dari pengaruh trend civic education di negara-negara yang telah maju dalam berdemokrasi seperti Amerika, Inggris, Australia, dan negara-negara di Eropa. Gejala ini setidaknya merupakan indikator akan semakin besarnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya demokrasi sebagai sebuah nilai dan mekanisme hidup bersama sesama warganegara. Sejalan dengan momentum transisi menuju demokrasi seperti ini dianggap sebagai kesempatan paling baik untuk membangun demokrasi di Indonesia. 
Berbarengan dengan kesadaraan tersebut, demokrasi yang seharusnya menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja bagi masyarakat dapat menjadi hal yang sangat mewah tanpa upaya untuk mewujudkannya. 
Asumi ini tidaklah berlebihan bila dikaitkan dengan warisan tradisi tidak demokratis yang ditinggalkan kekuasaan masa lalu. Artinya sebagai sebuah pilihan terbaik demokrasi harus dibiasakan dan di transformasikan, khususnya bagi generasi muda melalui jalur pendidikan demokrasi yang dikemas dalam bentuk program civic education. 
Program ini diharapkan dapat memberikan bekal serta pengalaman berdemokrasi kepada generasi muda, sehingga mereka mampu menyemaikan landasan kultural bagi perwujudan masyarakat sipil Indonesia yang cerdas dan kritis terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara (smart, good and critical citizenship). 
Pendidikan Demokrasi di Perguruan Tinggi Pendidikan dinilai banyak pakar demokrasi merupakan media paling tepat untuk mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Menengok pengalaman beberapa negara Barat yang telah maju dalam berdemokrasi, kepedulian terhadap masa depan demokrasi mereka diwujudkan melalui program pengintegrasian pendidikan demokrasi ke dalam pelajaran pendidikan kewargaan (civic education) dalam pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi. 
Inggris misalnya sejak 1997 telah melakukan program pendidikan kewargaan yang mereka namakan democratic citizenship yang diadakan oleh lembaga pendidikan warga negara demokratis, the Education for Democratic Citizenship (EDC). 
Program serupa dijumpai pula di Amerika, Kanada, Australia dan sejumlah negara Eropa dengan nama yang berbeda namun memiliki kesamaan tujuan yakni bagaimana menjadikan demokrasi sebagai kultur dan mekanisme bermasyarakat warganegara mereka. Civic education bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pendidikan ”demokrasi” Indonesia itu dirumuskan dalam bermacam model dan nama.
Model pertama dikenal dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang diajarkan sejak 1975. Mata pelajaran ini kemudian pada 1994 diganti dengan pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan untuk jenjang perguruan tinggi pendidikan kewargaan tersebut di kenal dengan nama mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila. 
Sayangnya bila dikaitkan dengan realitas sosial-politik sekarang ini, agenda nasional pendidikan kewarganegaraan itu lebih tepat dikatakan telah mengalami kegagalan. Tindakan tidak demokratis dengan cara kekerasan masih banyak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. 
Politik pengerahan massa akar rumput masih dominan dijadikan modus politik oleh sebagian elit politik. Perilaku serupa terjadi pula di kalangan generasi muda dalam bentuk tawuran sesama pelajar dan bentrokan fisik antara aparat keamanan dengan mahasiswa. Kenyataan seperti ini merupakan salah satu indikator kegagalan dari pendidikan kewarganegaraan yang selama ini dilakukan.

Bertolak dari kenyataan tersebut dan peluang memanfaatkan era transisi menuju demokrasi seperti saat ini, reformasi pendidikan kewargaan nasional sudah mendesak dilakukan. Sebagaimana banyak kalangan menilai, bahwa dalam konteks wacana global tentang demokrasi dan trend civic education serta semangat reformasi di Indonesia, kedua model pendidikan kewarganegaraan nasional di atas dianggap kurang sejalan lagi dengan dua tuntutan refromasi yakni penegakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). 
Mempertimbangkan peran strategis mahasiswa sebagai penggerak demokratisasi, reformasi substantif dan metodologis pendidikan kewarganegaraan mendesak dilakukan tarhadap mata kuliah pendidikan Kewiraan dan Pancasila di perguruan tinggi. Hal ini penting dilakukan mengingat mahasiswa sebagai komponen vital dari gerakan reformasi merupakan aset paling potensial dan strategis bagi proses transformasi demokrasi Indonesia kini dan mendatang.
Menurut Azyumardi Azra (2001), setidaknya terdapat tiga faktor mengapa pendidikan kewarganegaraan nasional dalam beragam bentuknya mengalami kegagalan. Pertama, menyangkut substantif, PPKn, mata kuliah Pancasila dan Kewiraan tidak disiapkan sebagai materi pendidikan demokrasi dan kewargaan. Kedua, menyangkut strategi pembelajaran mata pelajaran dan kedua Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek tersebut lebih bersifat teoritis daripada praksis. Walhasil hasil pembelajaran ketiga model pendidika kewargaan produk Orde Baru itu lebih tepat dianalogikan dengan ungkapan klasik ”jauh panggang dari api” ; kurang menyentuh realitas yang berkembang di masyarakat lokal maupun internasional.
Kebijakan Baru Semangat Lama Kebijakan nasional terbaru tentang pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas N0. 267/DIKTI/Kep/2000. Keputusan ini lahir sebagai respon pemerintah terhadap perkembangan situasi politik pasca kejatuhan Orde Baru. 
Namun patut disayangkan, sekalipun keputusan ini lahir di era reformasi, tetapi secara substansial belum menampakkan pergeseran paradigma hubungan antara negara dan warganegara secara signifikan. Masih kuatnya semangat pendekatan keamanan (security approach) dapat dicermati pada bunyi pasal 5 keputusan tersebut. 
Menurut pasal tersebut materi pendidikan kewarganegaraan meliputi empat pokok bahasan yaitu: pengantar pendidikan kewarganegaraan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan politik dan strategi nasional. Sekalipun materi demokrasi dan HAM dijadikan salah satu unusr dari pokok bahasan yang pertama, nampaknya sampai saat ini pihak pemerintah belum merealisasikannya dengan sungguh-sungguh dalam bentuk kurikulum yang sejalan dengan tuntutan reformasi dan penegakan HAM.
Kuatnya paradigma lama yang lebih mengedapankan kontrol negara (state) atas warga negara dalam keputusan itu dapat pula dicermati pada pernyataan pasal 7 tentang evaluasi belajar MKDU yang sudah diperbaharui itu. Menurut pasal tersebut, evaluasi belajar dinyatakan dengan kalimat, ”dilakukan dengan cara yang memungkinkan terdeteksinya perkembangan sikap tingkah laku mahasiswa”. Dari redaksi pasal ini nampaknya nuansa militeritsik masih begitu kental bersembunyi dibalik kebijakan tersebut. 
Pendidikan Kewarganegaraan Model Baru Usaha sosialisasi demokrasi di Indonesia melalui jalur pendidikan formal nampaknya masih membutuhkan jalan panjang. Reformasi orientasi pendidikan kewarganegaran sudah semestinya dilakukan baik peraturan, paradigma, materi maupun pelaksanannya di lapangan. Orientasi pendidikan kewarganegaraan yang bertujuan untuk mengembangkan sikap demokratis dan daya kritis peserta didik selayaknya di jadikan common plat-form para pengambil kebijakan pendidikan nasional. Kesamaan pandangan ini selanjutnya dapat ditungkan kedalam penyusunan kurikulum yang sejalan dengan semangat dan tuntutan demokrasi.
Dalam tataran reformasi metodologi pengajarannya, pendekatan belajar yang berpusat pada mahasiswa (learner-centered) sudah waktunya di terapkan pada perkuliahan mata kuliah pendidikan kewarganegaraan mendatang. Menurut Jhon Dewey, tokoh pendekatan belajar ini, mazhab pendekatan ini memusatkan perhatian pada kemampuan analisis mahasiswa terhadap pengetahuan dan pemahaman yang mereka miliki, dan (dosen) mengarahkannya untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pelajari. 
Sealur dengan pendekatan ini, pembelajaran pendidikan kewargaan mestilah berlangsung dalam suasana demokratis. Selama perkuliahan berlangsung dosen dituntut mampu menciptakan suasana kelas yang dinamis, kritis dan menyenangkan. 
Pandangan selama ini bahwa dosen sebagai satu-satunya sumber pengetahuan sudah waktunya ditinggalkan. Pemahaman kadaluarsa ini harus segera diubah melalui pembelajaran yang demokratis dimana dosen berperan sebagai fasilitator dan pemacu atau motivator dinamika kelas. Untuk mewujudkan ini semua, rasa empati terhadap beragam pandangan mahasiswa merupakan sesuatu yang harus dimiliki dosen atau siapa saja yang peduli dengan pendidikan demokrasi.
Bersandar pada pendekatan pengajaran di atas, pengembangan pendidikan kewarganegaraan di tingkat perguruan tinggi mendatang diharapkan mampu menjadikan kampus sebagai rahim bagi lahirnya civic cultur dan persemaian masyarakat beradab (civilized citizen). Tentunya semangat ini harus diawali oleh keprihatinan semua pihak, khususnya praktisi pendidikan akan nasib dan masa depan demokrasi di negeri ini. 

B.   Pembahasan
Ada dua alasan mengapa dipilihnya demokrasi. Pertama, hamper semua Negara di dunia ini telah menjadikan sebagai asas yang fundamental; Kedua, demokrasi sebagai asas kenegaraan yang secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara yangsebagai organisasi tertingginya, seperti yang dikatakan oleh Moh. Mahfud, Md. Pertanyaan sederhana yang patut dikemukakan berkaitan dengan kata “demokrasi” adalah apakah hakikat demokrasi itu?
Menurut beberapa ahli, pemahaman hakikat “demokrasi” terlebih dahulu diawali dengan pengertian demokrasi  nilai yang terkandung di dalamnya. Secara bahasa demokrasi berasal dari dua suku kata bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi ‘demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada pada keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Sedangkan secara terminologis demokrasi adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan tertinggi dalam penyelenggaran dan  pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan.
Dari penjelasan tentang hakikat demokrasi di atas menimbulkan pertanyaan, kenapa Indonesia  memilih demokrasi? Dan masih relevan kah demokrasi di Indonesia untuk masa mendatang?
Para peneliti sendiri terjadi pro kontra tentang demokrasi sebagai system yang baik. Lee kuan yew didepan The Philipine Chamber Of Commerce and Industry mengatakan ketidak setujuannya adanya demokrasi. Menurut dia, sikap yang diperlukan oleh sebuah Negara adalah sikap disiplin, lebih dari demokrasi, kegairahan kepada demokrasi justru membawa sikap tidak disiplin dan ketidaktertiban yang buruk bagi pembangunan. Test tertinggi system politik adalah kemampuannya membawa masyarakat meningkatkan standar hidup. Klimaks dari pandangannya, seperti direkam National Review 29 November 1993, Lee kuan yew menukik, bahwa system demokrasi gaya Amerika Serikatlah yang menyebabkan Filipina jatuh miskin seperti sekarang.
Dalam Journal Of  Economic Perspective, Volume 7 summer 1993 Adam Prezeworski dan Fernando Limingo, mengumpulkan studi beberapa peniliti tentang hubungan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi. Buku statistic menunjukkan tiga kategori korelasi antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi.
 Pertama, temuan yang mengatakan Negara yang otoritarin lebih baik buat pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, demokrasi bersifat inferior. Peniliti yang menemukan ini antara lain Prezeworski (1966), dengan sempel 57 negara dalam rentang waktu 1949-1963. Adelman dan Morris (1967) sampai pada kesimpulan yang sama, dengan menliti 74 negara terbelakang termasuk blok komunis pada periode 1950-1964. Hongtington dan Dominguez (1975) juga berpendapat serupa setelah ia meniliti 35 negara miskin tahun 50-an.
         Kedua, temuan sebaliknya yang mengatakan justru demokrasi,dibanding sistem politik yang lain, yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Peneliti yang menemukannya, antara lain Dick (1974) yang mengamati 59 negara terkebelakng di tahun 1959-1968.
Ketiga, temuan yang netral yang mengatakan baik demokrasi atau sistem politik lain tidak berbeda secara signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Peneliti itu antara lain Kohli (1986) yang mengamati sepuluh Negara terbelakangdi tahun 1960-1982. Mars (1988) dengan jumlah sampel 47 negara di periode 1965-1984 menyatakan hal yang sama.
Bukti statistik di atas lebih objektif dan valid karena banyak melibatkan peneliti professional. Demokrasi mungkin menghambat, malah mendorong atau tidak berpengaruh sama sekali terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesan buruk atas demokrasi akibat kasus pemiskinan Filipina dengan demikian kehilangan validitasnya.
Di kalangan sunni sendiri ada beberapa pandangan mengenai negara. Hasan al-Banna, Sayyid  Quthb, Rasyid Ridho, dan abdul A’la berpendapat bahwa penyelenggaraan Negara harus didasarkan pada ajaran Islam dan tidak boleh meniru-niru model pemerintahan Barat. Adapun Muhammad Husein Haikal, penulis Hayat Muhammad menolak anggapan adanya sitem pemerintahan dalam Islam. Menurutnya, Islam tidak mengajarkan bagaimana sistem pemerintahan, tetapi ia memberi nilai-nilai etika tentang  bagaimana hidup dalam sebuah Negara.
Terlepas dari pro-kontra pantas tidaknya system demokrasi diterapkan di Indonesia. Pada  era reformasi Indonesia mampu membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia memang pantas dan sanggup menjalankan sitem demokrasi. Terbukti bangsa Indonesia pernah mendapkan anugerah penghargaan bergengsi The Demokaracy Award , dari IAPAC (International Associaton Consultan). Penghargaan ini di berikan karena Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam membangun dan melaksanakan demokrasi. Pemilu 1999 dan 2004 yang berjalan secara jujur, adil, dan aman menjadi alasan peraihan penghargaan tersebut.
Penghargaan ini merupakan pelengkap apresiasi internasional serupa yang sebelumnya pernah di raih. Tahun 2005 Indonesia mendapatkan penghargaan Freedom House yang telah menempatkan Indonesia sejajar dengan Negara-negara barat dalam berdemokrasi.
Rakyat Indonesia memang telah familiar dengan berbagai pesta demokrasi  dan kebabasan berpendapat, namun mereka masih jauh dari rasa keadilan dan kesejahteraan. Kebijakan pemerintah yang pro rakyat amat minim. Sebaliknya berbagai bentuk penyelewengan, korupsi, permainan hukum, dan kenaikan harga mendorong masyarakat semakin miskin dan sengsara.
Namun ada satu hal yang samgat menarik  dari penghargaan internasional tersebut yaitu pengakuan Indonesia sebagai demokratis karena peran masyarakatnya  yang mayoritas muslim.
Keberhasilan Indonesia menjadi Negara demokratis tidak bias dilepaskan dari andil umat Islam. Selain pemberian suara dalm pemilu, umat Islam pun mampu berpatisipasi dalam politik secara aktif melalui saluran-saluran politik yang ada atau berkreasi mendirikan partai politik baru berbasis agamis atau nasionalis.
Keberhasilan umat Islam dalam menerapkan demokrasi ini tentu saja karena dukungan penuh lembaga civil society yaitu organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti NU, Muhamadiyah dan yang lainnya. Peranan lembaga ini dalam mendukung demokrasi dapat dilihat dari putusan mereka yang tidak lagi mempermasalahkan dasar Negara. Perdebatan panjang yang dulu pernah memuncak di masa Orde lama kini telah di anggap selesai. Umat Islam menganggap subtansi ajaran Islam telah diakomodasi Negara.
     Faktor terpenting dalam suksesnya system demokrasi di Indonesia adalah pembelajaran pendidikan  kewarganegaraan yang terus mengalami kemajuan. Guna mendukung pemerintahan an yang berdemokrasi, pendidikan civic education telah mampu membuktikan peranannya mencerdaskan masyarakat tentang system pemerintahan yang di gunakan di Indonesia

                                 
C.   Penutup
     Dengan dukungan pemerintah yang tidak lagi otoriter, pendidinkan kewarganegaraan yang menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah sampai perguruan tinggi akhirnya bisa menunjukkan jati dirinya untuk ikut serta membangun masyarakat yang bermartabat menuju masyarkat madani.Pentingnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta berperan aktif mendukung demokradi di Indonesia dengan cara tidak mensepelekan pendidikan kewarganegaraan sangat di perlukan, guna menjadikan pembelajaran mengenai hak-hak bernegara dan menentukan masa depan demokrasi Indonesia.
Pemilu di Indonesia bisa di jadikan cermin keberhasilan pendidikan kewarganegaraan terutama tentang kemajuan demokrasi. Partisipasi masyarakat pada pemilu masih tinggi,. Itu tandanya masih adanya dukungan publik pada demokrasi. Walaupun pada pemilu 2009 terdapat berbagai macam kekisruhan, bukan berarti budaya demokrasi telah  luntur di mata masyarakat.
Demokrasi dipandang cocok untuk kultur budaya Indonesia yang sangat majmuk. Sumbangan budaya lokal turut mewarnai demokrasi Indonesia dan akan terus berkembang tanpa harus ada perpecahan
Demokrasi tidak bisa disalahkan, karena demokrasi yang kita banggakan ini sejatinya belum mencapai demokrasi yang mapan. Kita baru melewati tahap demokrasi prosedural, dan masih jauh dari tahap subtansial.
Semua system yang pernah dilaksanakan mempunyai objek yang sama. Yaitu : memajukan, membangun, dan ikut serta dalam menjaalnkan  Negara Indonesia. Namun yang menjadi kendala sehingga mundurnya Negara,di karenakan roda dalam menjalankan sistem yang sedang di terapkan tidak secara maksimal. Maka ketika tidak terwujudnya keberhasilan sistem yang digunakan pasti menimbulkan hilangnya kredibilitas system tersebut.
Sikap kita sekarang yang perlu dilakukan adalah menjalankan sistem yang sedang berlangsung secara maksimal. Mungkin dengan menjalankan secara maksimal tidak perlu mencari-cari system lain yang malah akan memperlambat pembangunan Negara.Akhirnya, optimisme memang harus tetap dipertahankan, tetapi persiapan matang dan ikhtiar maksimal adalah kebutuhan yang saat ini amat diperlakukan. Jika masa transisi ini bangsa Indonesia berhasil menjalankan demokrasi terutama pendidikan kewarganegaan dengan baik, maka jalan mewujudkan Negara yang bedaulat yang demokratis di masa mendatang akan terbuka lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar